“Jangan nak, mama mohon pengertian kamu, kamu tau kan perusahaan papa sedang terlilit hutang, banyak karyawan terpaksa di-PHK. Sekarang mama papa bingung membayar pesangon mereka” suara ibu Lisa terdengar lesu.
“Terserah, aku nggak peduli. Yang aku tau, kemaren Agata bawa mobil baru ke kampus, Avi punya tas limited edition yang dibeli dari Paris. Kalo papa mama masih mau aku kuliah, cepetan transfer duitnya!” tanpa menunggu jawaban dari Ibunya, Lisa langsung mematikan telepon.
Lisa memang tipikal mahasiswa hedon yang menganggap isi dompet lebih penting ketimbang isi otak. Bahkan demi bisa kuliah di salah satu universitas ternama di Jogjakarta, orang tua Lisa rela mengeluarkan uang ratusan juta rupiah ditambah fasilitas mobil dan kamar kos yang bisa disamakan dengan kamar hotel berbintang tiga. Namun seperti sebuah pepatah, manusia tidak akan pernah puas dengan apa yang sudah dia miliki.
Tanpa pikir panjang Lisa memacu mobilnya tak tentu arah. Setelah hampir satu jam berkeliling kota Jogja, Lisa menghentikan mobilnya di dekat stadion Mandala Krida. Lisa duduk di pinggir trotoar sambil memandang hampa kendaraan-kendaraan yang melintasinya. Tidak lama kemudian lamunan Lisa buyar begitu mendengar bunyi dentingan mangkok yang semakin lama semakin jelas. Terlihat penjual bakso sedang mendorong gerobaknya sembari mengetukkan sendok ke mangkok bakso. Penjual bakso itu berjalan ke arah Lisa.
“Pemisi ya mbak, saya mau gelar dagangan” ternyata tempat yang diduduki Lisa merupakan tempat si Tukang bakso biasa menjajakan dagangannya. Benar saja, tidak sampai 15 menit setelah tikar digelar, para pelanggan sudah berdatangan. Tapi Lisa tetap duduk terpaku di dekat gerobak bakso.
“ Mbak ini mahasiswa ya?” kata penjual bakso ramah itu sambil memasukkan potongan sawi ke dalam dandang. Lisa mengangguk sekilas.
“kok bapak tau?” tanya Lisa penasaran.
“Hehehe, asal nebak aja mbak. Kalau saya bilang anak SMA ntar mbak ke GR-an” canda si penjual bakso. Mau tidak mau Lisa tersenyum juga.
“Ngomong-ngomong mbak kuliah di mana?”tanya penjual bakso kemudian
“Universitas X pak”jawab Lisa
“Wah, keren ya mbak. Anak saya juga diterima di situ lho”
“oh, jurusan apa Pak?”
“ Dulu sih Kedokteran mbak, tapi sekarang ganti jurusan solo-jogja”sahut si penjual bakso datar. Lisa mengerutkan dahi tanda tidak mengerti.
“ Iya, dulu dia diterima di jurusan kedokteran umum, tapi mbayarnya mahal mbak, saya dapet duit dari mana, jualan seribu mangkok belum tentu bisa mencukupi. Akhirnya sekarang anak saya jadi kernet bus solo-jogja. Lumayan buat bantu nyekolahin adik-adiknya” terlihat senyum getir di wajah laki-laki paruh baya itu.
Lisa tercekat. Seharusnya anak penjual bakso tadi kuliah di jurusan yang sama dengannya, duduk di ruang kuliah ber-ac sambil mendengarkan penjelasan Profesor dari luar negeri yang menjadi ahli kanker dunia, bukannya berpanas-panasan di jalan sambil berteriak menyebutkan tujuan bus. Belum lagi harus berhadapan dengan preman atau pencopet yang biasa ‘mangkal’ di dalam bus. Membayangkannya saja Lisa sudah merinding.
“kenapa nggak coba cari beasiswa pak? Disana kan banyak tawaran beasiswa buat mahasiswa kurang mampu”
“Bapak ini cuma orang kampung biasa mbak, SD saja nggak tamat, bapak nggak tau hal-hal semacam itu. Kalau nggak ada uang ya nggak bisa kuliah. Sekarang coba mbak amati, apa mahasiswa kurang mampu di kampus mbak lebih banyak daripada yang mampu? Bapak kira tidak”
Lisa teringat teman-temannya yang setiap hari membawa kendaraan mewah ke kampus, harga kendaraan mereka bahkan bisa lebih mahal daripada yang dimiliki dosen. Tidak hanya itu, Lisa juga sempat heran melihat beberapa temannya mendapat beasiswa tidak mampu, padahal Lisa tahu betul orang tua mereka bisa membiayai 10 mahasiswa sekaligus.
Perasaaan sesak menyelimuti hati Lisa. Dia tersadar bahwa dirinya tidak jauh berbeda dengan mereka. Lisa hanyalah anak manja yang memikirkan kenyamanan dirinya sendiri. Baginya kuliah merupakan bagian dari siklus kehidupan yang cenderung membosankan. Lisa tidak tahu bahwa bangku yang tiap hari dia duduki sampai pegal bisa menjadi sangat berharga bagi orang lain. Ya, termasuk bagi anak si penjual bakso.
“Mungkin bagi mbak kuliah itu pilihan. Tapi bagi orang kecil seperti kami, kuliah itu kesempatan emas untuk merubah nasib. jadi,buatlah rakyat kecil ini bangga karena sudah memberikan kesempatan emas kami kepada orang-orang pilihan seperti kalian. ”
Tanpa sadar Lisa menitikkan air mata. Air mata kesadaran diri untuk berubah. Air mata yang perlahan tapi pasti mulai mengikis sifat ego, emosional, dan lupa bersyukur yang selama ini melekat erat dalam dirinya. Air mata yang justru jatuh karena obrolan ringan dari seorang penjual bakso...
Lalu, bagaimana dengan anda? Sudahkah kesadaran muncul di hari yang cerah ini? (Zakya)
0 komentar:
Posting Komentar