Kian berkembangnya segala sistem di bumi ini tetap menyisakan beberapa polemik. Masalah di sektor pangan adalah salah satunya. Sampai manusia yang akan datang sekali pun pasti sangat bergantung pada kondisi per-panganan. Tak akan ada yang dapat bertahan dengan kehidupan tanpa zat pangan.
Tak ada yang bertahan tanpa makanan.
Dengan magsa konsumen sebanyak jumlah manusia di bumi ini maka, bidang ini sangat diminati para pencari keuntungan. Tak terkecuali di Indonesia, negeri yang berjulukkan negeri agraria ini. Negeri yang menyatakan janji setianya untuk mensejahterakan rakyatnya termasuk di sektor pangan dan gizi.
Negeri yang menyatakan janji setianya untuk mensejahterakan rakyatnya di segala sektor termasuk pangan dan gizi.
Beberapa cara yang di-klaim oleh pemerintah negeri agraria ini untuk mewujudkan janji setia itu. Mulai pendirian Bulog sampai pembentukan Badan Ketahanan Pangan. Namun, hingga hari ini adanya krisis pangan terus membayangi. Ketidakpastian persediaan pangan di Indonesia tiap tahunnya, memaksa pemerintah memberlakukan kebijakan import secara terus menerus.
Isu terbaru tentang pangan yang cukup santer disuarakan akhir-akhir ini adalah akan lahirnya sebuah undang-undang pangan. RUU Pangan yang akan diajukan tersebut ternyata mendapatkan respon yang beragam dari tiap lapisannya. Mulai dari yang acuh karena tak lagi ada energi untuk memikirkan urusan orang 'atas' itu, getol menerima, sampai ada pula yang menolak dengan berbagai statement-statemen realistis.
RUU Pangan ini dinilai prematur oleh beberapa pihak termasuk pihak akademisi yang ternyata belum dimintai pendapatnya tentang RUU ini. RUU yang menekankan pada desentralisasi pangan ke daerah ini cenderung disinyalir akan membuka keburukan-keburukan selanjutnya. Daerah belum sekuat itu untuk melakukan kebijakan sekelas pangan ini. Sehingga dikhawatirkan akan terbukanya liberalisasi di sektor sentral pangan.
Dikhawatrikan terbukannya liberalisasi sektor pangan.
Diperbolehkannya seseorang termasuk bukan lembaga untuk menguasai pangan pokok meski dalam jumlah sedikit, membuka lebar pintu privatisasi sektor sentral ini. Bahkan dalam pasal 49 RUU Pangan ini disebutkan bahwa setiap orang boleh menyimpan pangan pokok dalam jumlah maksimal seperti yang ditetapkan pemerintah pusat. Kecuali,mendapatkan izin dan penugasan dari yang berwewenang melalui peraturan mentri yang menanggani perdagangan. Hal ini makin memperkuat berlepasnya petinggi pemerintahan dalam sektor penting ini.
Menurut salah satu dosen UGM, yang harusnya dilakukan pemerintah adalah mendorong usaha pertanian pangan agar memiliki nilai ekonomi tinggi dan kompetitif dengan komoditas dan sektor lain. Sehingga, petani senang berproduksi yang selanjutnya akan berdampak pada melimpahnya produk pangan serta terjaminnya ketahanan pangan.
Meningkatkan daya jual dan kualitas produk pangan negeri akan membantu terjaminnya ketahanan pangan.
Memang tak elok kiranya jika, liberalisme lagi-lagi diterapkan pada negeri agraria yang masih berlandaskan pancasila ini. Liberalisme dan privatisasi di sektor-sektor penting dan pokok, termasuk pangan harus segera dihentikan. Termasuk harus dilakukannya kajian ulang terhadap RUU Pangan ini. Negeri yang mulai pudar ke-agrariaan-nya ini jangan sampai kehilangan jati dirinya juga.
Tak ada yang bertahan tanpa makanan.
Dengan magsa konsumen sebanyak jumlah manusia di bumi ini maka, bidang ini sangat diminati para pencari keuntungan. Tak terkecuali di Indonesia, negeri yang berjulukkan negeri agraria ini. Negeri yang menyatakan janji setianya untuk mensejahterakan rakyatnya termasuk di sektor pangan dan gizi.
Negeri yang menyatakan janji setianya untuk mensejahterakan rakyatnya di segala sektor termasuk pangan dan gizi.
Beberapa cara yang di-klaim oleh pemerintah negeri agraria ini untuk mewujudkan janji setia itu. Mulai pendirian Bulog sampai pembentukan Badan Ketahanan Pangan. Namun, hingga hari ini adanya krisis pangan terus membayangi. Ketidakpastian persediaan pangan di Indonesia tiap tahunnya, memaksa pemerintah memberlakukan kebijakan import secara terus menerus.
Isu terbaru tentang pangan yang cukup santer disuarakan akhir-akhir ini adalah akan lahirnya sebuah undang-undang pangan. RUU Pangan yang akan diajukan tersebut ternyata mendapatkan respon yang beragam dari tiap lapisannya. Mulai dari yang acuh karena tak lagi ada energi untuk memikirkan urusan orang 'atas' itu, getol menerima, sampai ada pula yang menolak dengan berbagai statement-statemen realistis.
RUU Pangan ini dinilai prematur oleh beberapa pihak termasuk pihak akademisi yang ternyata belum dimintai pendapatnya tentang RUU ini. RUU yang menekankan pada desentralisasi pangan ke daerah ini cenderung disinyalir akan membuka keburukan-keburukan selanjutnya. Daerah belum sekuat itu untuk melakukan kebijakan sekelas pangan ini. Sehingga dikhawatirkan akan terbukanya liberalisasi di sektor sentral pangan.
Dikhawatrikan terbukannya liberalisasi sektor pangan.
Diperbolehkannya seseorang termasuk bukan lembaga untuk menguasai pangan pokok meski dalam jumlah sedikit, membuka lebar pintu privatisasi sektor sentral ini. Bahkan dalam pasal 49 RUU Pangan ini disebutkan bahwa setiap orang boleh menyimpan pangan pokok dalam jumlah maksimal seperti yang ditetapkan pemerintah pusat. Kecuali,mendapatkan izin dan penugasan dari yang berwewenang melalui peraturan mentri yang menanggani perdagangan. Hal ini makin memperkuat berlepasnya petinggi pemerintahan dalam sektor penting ini.
Menurut salah satu dosen UGM, yang harusnya dilakukan pemerintah adalah mendorong usaha pertanian pangan agar memiliki nilai ekonomi tinggi dan kompetitif dengan komoditas dan sektor lain. Sehingga, petani senang berproduksi yang selanjutnya akan berdampak pada melimpahnya produk pangan serta terjaminnya ketahanan pangan.
Meningkatkan daya jual dan kualitas produk pangan negeri akan membantu terjaminnya ketahanan pangan.
Memang tak elok kiranya jika, liberalisme lagi-lagi diterapkan pada negeri agraria yang masih berlandaskan pancasila ini. Liberalisme dan privatisasi di sektor-sektor penting dan pokok, termasuk pangan harus segera dihentikan. Termasuk harus dilakukannya kajian ulang terhadap RUU Pangan ini. Negeri yang mulai pudar ke-agrariaan-nya ini jangan sampai kehilangan jati dirinya juga.
Titi Nur Hidayati
TPHP 2010
0 komentar:
Posting Komentar