SEKRETARIAT : Ruang BEM FTP UGM, Jalan Flora No.1 Bulaksumur Yogyakarta, kode pos 55281 / emaill : bemfakultasteknologipertanian@yahoo.co.id / twitter : @BEMFTPUGM / TELP : 085729414968

Kamis, 02 Februari 2012

MEMORI PUTIH ABU-ABU DI KAMPUS BIRU



So, kamu beneran nggak pernah ketemu dia, Mi? Kalian kan satu kampus” 

Sudah terhitung lima kali Alra menanyakan hal ini.

"Alra.... emang UGM cuma selebar daun kelor? Hellooo, UGM tu gedhe! Lagian  jarak fakultasku sama fakultas teknik jauh tau !” aku menghela nafas panjang.

Heran deh, walaupun Alra sedang berada di negara yang yang jaraknya ribuan kilometer dari sini, dia tidak pernah bosan menanyakan cowok itu.

“Yahh, mungkin emang udah saatnya aku mulai nglupain dia” keluh Alra dari seberang telepon, namun sedetik kemudian suaranya kembali ceria.

” Eh iya Mi, kebetulan aku juga mau cerita! Sekarang aku lagi deket sama salah satu temen sekelasku. Namanya Bryan, bule Aussie asli lhoo” sepuluh menit kemudian Alra masih bercerita soal gebetan barunya itu. Dia baru menyudahi pembicaraan ketika aku mengingatkan tentang mahalnya biaya telepon interlokal.

Kuletakkan gagang telepon yang mulai panas. Pikiranku melayang kepada seseorang yang selama hampir 6 tahun ini selalu ada dipikiran sahabat baikku Alra. Apa sih hebatnya Raditya/

Dari segi fisik? Okelah, posturnya yang tinggi bisa mengantar dia untuk jadi bintang basket sekolah. Tampang? Relatif... banyak yang bilang dia mirip pembalap Rio Haryanto. But it does’nt matter, right?!  Intelegensi? Hm,  selain diterima di jurusan teknik sipil UGM, sebenarnya Radit juga memperoleh beasiwa di Adelaide Universit seperti Alra. Tapi Radit justru memilih kuliah di kota gudeg yang hanya memakan waktu satu jam perjalanan dari kota asal kami. Attitude? Nah, ini dia! Selama hampir 6 tahun menjadi adik kelasnya, nggak pernah sekalipun aku melihat Radith bersikap ramah dan santun terhadap orang-orang disekitarnya. Anehnya, sikap Radit yang sok cool ini justru berhasil membuat Alra dan mayoritas cewek-cewek di sekolah ngefans setengah mati.

Bunyi Ringtone handphone membuyarkan lamunanku. Ada SMS dari mbak Lia. Setelah membaca pesan singkat dari mbak Lia, aku segera berganti pakaian dan bergegas ke kampus. Hari itu akan diadakan seminar nasional di fakultas Teknologi Pertanian, tempat dimana aku mengenyam pendidikan selama satu tahun belakangan. Seminar bertema “Konstribusi Masyarakat Terhadap Masalah Pangan Nasional” ini dihadiri oleh masyarakat umum, sivitas akademi, dan tidak ketinggalan pula perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa dari seluruh fakultas di Universitas Gadjah Mada. Terus terang, aku cukup exited karena dapat terpilih menjadi anggota panitia penyelenggara salah satu event terbesar di fakultasku ini. Tapi bukan hanya itu yang bikin aku bersemangat. Somehow, aku merasa hari ini akan ada sesuatu yang spesial.
               
“Mi, are you ok? mukamu udah kayak buah kesemek tuh saking pucetnya” tanya Ulfah ketika acara sudah hampir dimulai.

 “ Nggak papa Fah, cuma agak capek” kilahku. Sebenarnya bukan hanya capek, waktu itu kondisi badanku emang lagi nggak vit. Bayangin aja, selama 3 hari penuh mesti standby di kampus buat mengurus semua persiapan seminar. Tapi demi lancarnya acara, wajarlah kalo tiap panitia bekerja ekstra keras.

Ulfah terlihat ragu mendengar alasanku, tanpa komando dia segera membimbingku ke salah satu kursi peserta yang masih kosong.



“Plis Mi, dari tadi kamu berdiri terus. Pokoknya sekarang kamu istirahat dulu, ntar aku ambilin teh hangat. Ok!” ulfah segera berlalu ke arah pintu samping auditorium.

Aku melihat sekilas kursi kosong disebelahku. Diatas kursi itu sudah ada kardus snack dan minuman kaleng yang belum dibuka.

“Mungkin orangnya lagi ke kamar mandi” gumamku.

Tidak lama kemudian pembawa acara mulai membuka seminar dan membacakan urutan acara. Pada seminar kali ini kami mengundang Prof. Dr. Ir Anton Apriyanto sebagai pembicara. Bukan perkara mudah mengundang salah satu alumni terbaik Fakultas Teknologi Pertanian ini, jabatan beliau sebagai staf ahli FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB) yang berkantor di Italia  membuat kami kesulitan untuk membuat janji. Untungnya salah satu anggota panitia masih bersaudara dengan beliau, jadi kami bisa mengatahui jadwal Profesor Anton berkunjung ke Indonesia. 
            
Saking fokusnya memperhatikan dekan fakultas yang sedang memberikan sambutan, aku sampai tidak menyadari bahwa si empunya kursi di sebelahku sudah kembali. Ketika dia duduk, secara refleks aku menoleh ke arahnya.



“Astaga..!” pekikku spontan, membuat sebagian besar peserta seminar kaget dan menengok ke arahku. Cepat-cepat aku menunjukkan ekspresi permintaan maaf.

“Mas...Mas Raditya kan?” tanyaku terbata-bata, kayak orang habis dikejar kuntilanak terowongan casablanca.

 “Ya? Apa kita pernah ketemu?”jawabnya datar.
            
Gubrak! Emang dasar ni cowok! Jelas-jelas kita pernah satu sekolah! Nggak Cuma setahun atau dua tahun, tapi 6 tahun, bro! Huhh, nggak salah kalo sejak SMP dia dijuluki Narcissistic prince. Ini orang emang sadar kalo dirinya terkenal, jadi dia merasa nggak perlu mengenal orang-orang yang nggak se- level dengannya.

Radit diam sebentar, seperti sedang mengingat sesuatu.


“Hmm, kamu Mia kan? Alumni SMP sama SMA 1 kota X?”
            
Gotcha! Mungkin aku mesti ngadain syukuran karena Radit bisa mengingat namaku.

Setelah itu obrolan terus berlanjut. Nggak aku sangka kalau seorang Radit, yang selama ini terkenal jutek dan untouching,ternyata bisa jadi teman ngobrol yang asyik.

“Ohh, mas Radit jadi perwakilan BEM Teknik ya? Tumben tertarik sama seminar kayak gini” tanyaku penasaran.
            
 “Harus aku akuin, acara ini menarik. Aku kagum karena kalian bisa ngundang narasumber yang udah expert kayak Profesor Anton.” Lanjutnya “Dan asal kamu tau, masalah pangan bukan cuma tanggung jawab satu pihak aja. Jangan cuma pemerintah atau dinas pertanian yang terus-terusan jadi sasaran. Sebetulnya kita semua, entah itu mahasiswa, Insinyur,dokter, psikolog, atau dosen sekalipun, punya andil untuk berkonstribusi mengatasi permasalahan pangan di Indonesia. Itu juga kalo mereka peduli. Makannya, seminar ini pas banget buat menumbuhkan rasa kepedulian kita semua buat menghadapi krisis pangan nasional nantinya.”

Waw, setelah mendengar pidato singkat dari Radit,aku baru sadar kenapa dulu Radit bisa terpilih menjadi ketua OSIS semasa SMP dan SMA.

Tapi sayang, kebersamaan kami harus berakhir ketika mbak Lia, sang ketua panitia, memanggilku untuk berkumpul bersama panitia lainnya. Dengan berat hati aku beranjak dari tempat duduk.

Satu jam kemudian acara selesai. Semua panitia penyelenggara terlihat puas karena kerja keras mereka berbuah manis.  Yap, seminar itu berjalan sukses! Banyak peserta seminar yang meminta tambahan kuota tempat duduk supaya mereka bisa mengajak rekan maupun kerabat mereka menghadiri acara seupa. Tidak hanya itu, Profesor Anton bahkan bersedia diundang lagi untuk mengisi seminar tahun depan. Untuk merayakan kesuksesan acara ini, ketua panitia berinisiatf mengadakan acara makan bersama setelah evaluasi panitia.

Tapi entah kenapa, aku sama sekali tidak berminat mengikuti acara makan gratis yang nota bene nya merupakan acara paling membahagiakan buat anak kos kayak aku. Setelah evaluasi selesai, aku langsung berpamitan kepada mbak Lia dan semua panitia penyelenggara. Ketika sampai di pintu keluar, aku kembali terpekik melihatnya.

“Astaga...!” jeritku pelan waktu melihat Radit berdiri persis di sebelah pintu keluar.

“Berisik, kamu ini ngliat aku kayak ngliat setan aja” sahut Radit dengan gaya cuek andalannya.

“Kamu udah makan?” katanya kemudian. Kali ini nada bicara Radit nggak nyengak kayak tadi.

Aku menggeleng “Lagi males makan”

“Dasar cewek, pantesan kamu kurus kayak tengkorak berjalan. Gimana kalo makan es krim? Aku tau tempat jual es krim yang enak di sekitar sini”

Mendengar kata es krim mataku langsung berbinar. Sejak kecil makanan satu ini memang selalu jadi primadona di lidahku. Singkatnya, kami sekarang sudah berada di Summer Ice Cream, sebuah cefe yang khusus menjual berbagai jenis es krim. Letaknya hanya beberapa ratus meter dari kampusku. Kami duduk di dekat jendela besar yang menghadap ke gedung pusat UGM. 
            
“Mungkin kamu heran kenapa aku justru memilih kuliah di UGM dan melepas beasiswa dari Universitas Adelaide” kata Radit membuka percakapan.


“Banyak yang bilang UGM itu kampus kerakyatan. Dan kenyataanya emang bener. Puluhan ribu mahasiswa dari sabang sampai merauke, dari suku A sampai Z, semua ada di UGM. Yang lebih menariknya lagi, mereka semua membawa visi dan misi yang berbeda-beda untuk memajukan daerah mereka. Aku yakin suatu hari aku bakal jadi orang sukses. Dan ketika hari itu datang, aku akan mengajak mereka untuk bersama-sama membangun Indonesia. Tapi, hal itu nggak akan terwujud kalo aku nerima beasiswa ke Australia...”
             
“Emang kenapa? Toh kamu masih bisa kerja di Indonesia selepas kuliah di Aussi nanti” tanyaku penasaran. Nggak cuma itu, seharusnya kamu sama Alra bisa satu kampus. Alra pasti seneng kalau ketemu Radit tiap hari,batinku.

“Nggak segampang itu. Ketika kita udah di negara orang, kita bakal gampang terkena pengaruh-pengaruh dari lingkungan negara itu. Apalagi tawaran pekerjaan mapan dan gaji yang jauh lebih tinggi daripada yang bisa kita dapetin di Indonesia, mahasiswa mana sih yang mau nglewatin kesempatan emas kayak gitu? Lagian, alasanku kuliah disini selain bisa bergaul sama mahasiswa dari semua daerah di Indonesia, aku juga bisa ketemu kamu kan...?”



Tiba-tiba permen coklat yang aku makan tersangkut di tenggorokan, membuatku tersedak.
            
 “Sori, tadi kamu bilang apa?” tanyaku ketika permen itu berhasil lolos dari tenggorokan.
 
Radit menatapku sesaat. “Nggak ada siaran ulang” jawabnya sambil membuang muka.

Tuh kan, sifat narcissistic prince-nya kumat lagi. Kuikuti pandangan Radit ke arah gedung pusat UGM yang berdiri dengan megahnya. Hidup memang aneh. Setelah 6 tahun bersekolah di tempat yang sama, justru di kampus UGM yang berjarak puluhan kilometer dari kota  X inilah kami bisa bertemu, mengobrol, bahkan bercerita tentang impian kami.

Sementara aku dan Radit sibuk dengan pikiran kami masing-masing sambil memandangi kampus biru di seberang, terdengar sebuah lagu yang begitu familiar ketika kami duduk di bangku SMA,
I am new, I am fresh. I am feeling so ambitious.
You and me, flesh to flesh
Coz every breath that you will take when you are sitting next to me
Wlll bring life into my deepest hopes, what’s your fantasy?
Aku pikir kenangan putih abu-abu ku akan terus berlanjut di kampus biru ini. Kita tidak akan tau siapa yang akan kita temui hari ini, atau mungkin detik yang akan datang. Mungkin seseorang di masa lalu yang kita benci, atau malah seseorang yang selama ini diidolakan sahabat kita. Entahlah... biar pemilik semesta yang mengatur semua.

Ini hanya secuil ceritaku di kampus biru. Bagaimana denganmu??

(Zakya D)

0 komentar:

Posting Komentar